"Alhamdulillah, Suamiku Mati Syahid..."
Sebuah kisah yang ditulis dari penuturan istri seorang Mujahid Palestina yang dibunuh musuh dengan meledakkan mobilnya, hampir enam tahun yang silam
Oleh : Muhammad ‘Isa, Ahmad dan Maulana
Hidayatullah.com--Kisah hidup dan kematian seorang syahid selalu ajaib. Mungkin karena orang-orang yang merindukan mati syahid selalu hidup dengan cara yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan.
Bahkan, cara Allah memperlakukan musuh-musuhnya pun sering tak kalah ajaibnya. Suatu kali Perdana Menteri Israel waktu itu, Yitzhak Rabin, mengumumkan kepada dunia nama-nama pemimpin Hamas, termasuk nama ‘Izzuddin Khalil (yang disebutnya sebagai “kepala ular”), sebagai orang-orang yang paling dicari oleh Israel. Namun, Allah mentaqdirkan, Rabin yang mengumumkan hukuman mati bagi ‘Izzuddin justru lebih dulu dicabut nyawanya oleh Allah lewat tangan rakyatnya sendiri. Rabin mati 4 Nopember 1995, diberondong senapan mesin yang ditembakkan Yigal Amir, seorang pemuda Yahudi radikal, yang marah karena Rabin “berdamai” dengan Yaser Arafat.
Asy-Syahid ‘Izzuddin Khalil adalah salah satu komandan Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas (Harakah Muqawwamah Al-Islamiyah) yang bermukim di Damaskus, ibukota Republik Arab Suriah. Hamas merupakan organisasi terbesar yang menghimpun berbagai kekuatan rakyat Palestina yang berjuang demi kemerdekaan tanah waqaf milik umat Islam sedunia itu, serta pembebasan Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam dan terminal Rasulullah Saw ketika melakukan isra' dan mi'raj.
Kisah ini merupakan hasil wawancara dengan Feryal Ahmed Nemr Zienou, 35 tahun, istri Asy-Syahid ‘Izzuddin Khalil yang ditemui Hidayatullah.com di Damaskus.
‘Izzuddin merupakan salah satu pengawal pertama Syeikh Ahmad Yasin dan ikut serta dalam peletakan pondasi Hamas tahun 1986-87. Pria ini lahir dan tumbuh besar dalam pangkuan gerakan da’wah di kawasan Syija’iyyah, di sebelah timur kota Gaza.
Keterlibatannya dengan Hamas dan sayap militernya Al-Qassam begitu rapat terjaga kerahasiaannya, sampai-sampai baru sesudah seminggu mereka menikah, Feryal mengetahui kalau suaminya seorang komandan Al-Qassam.
Nama lengkapnya ‘Izzuddin Syubhi Al-Syeikh Khalil, lahir di Gaza, 23 Agustus 1962, menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat master di bidang Ushuluddin di Universitas Islam Gaza. Pekerjaan sehari-harinya ketika menikah dengan Feryal berdagang buku. Menurut Feryal, sama sekali tidak terlihat penampilannya sebagai seorang sosok militer.
Barangkali karena pengalamannya di usia belia pernah berjihad di Afghanistan, ‘Izzuddin ditugaskan oleh para pemimpin Hamas untuk mengumpulkan, membina dan melatih para pemuda Muslim di seluruh Palestina, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun seluruh kawasan Palestina yang sepenuhnya dijajah Israel. Tujuannya untuk menjadikan para pemuda itu Mujahidin pembela tanah suci para Nabi dan Masjidil Aqsha.
Rahasia Pengantin
Feryal sendiri waktu itu seorang gadis yang sedang mekar dari sebuah keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Salah satu kembang yang tumbuh di hatinya adalah keinginan untuk kelak menikah dengan seorang Mujahid fii Sabilillah.
Namun ketika menerima lamaran ‘Izzuddin, Feryal mengaku sama sekali tidak tahu kehidupan Jihad laki-laki yang melamarnya itu. Kenapa dia menerima lamaran padahal belum jelas ‘Izzuddin seorang Mujahid atau bukan? Perempuan yang murah senyum itu menjawab, di Gaza, waktu itu, kalau ada laki-laki yang rajin ke masjid, berakhlak baik, berilmu agama mendalam, berpenampilan rapi dan menjaga pergaulannya sesuai syariat Islam, hampir bisa dipastikan bahwa dia seorang Mujahid.
“Tapi saya sama sekali tidak mengira kalau dia seorang komandan dan sangat dekat dengan Panglima Para Mujahidin Palestina, Syeikh Ahmad Yasin,” tukasnya sambil tersenyum lebar.
Feryal mulai mencium sesuatu yang mengherankan sejak hari pertama pernikahan. Setiap kali pergi shalat subuh berjama’ah di masjid, ‘Izzuddin selalu pulang terlambat, yaitu ketika matahari sudah sepenggal naik, sekitar waktu dhuha. Feryal tak tahan untuk bertanya. Maka dijelaskanlah oleh ‘Izzuddin, bahwa sesudah shalat shubuh ia bertugas keliling membina para pemuda di berbagai tempat, baik pembinaan ruhiyah, keilmuan, maupun kemiliteran.
Betapa gembiranya Feryal mendengar penjelasan itu. Pengantin baru yang usianya lebih muda 13 tahun dari suaminya itu merasa Allah mengabulkan doanya selama ini, agar dinikahkan dengan seorang Mujahid. Namun rahasia itu tetap terjaga rapat diantara mereka berdua. Baru setahun kemudian, keluarga Feryal pelan-pelan mengetahui kenyataan bahwa ‘Izzuddin seorang Mujahid dengan amanah yang penting.
Terbukanya rahasia itu adalah ketika pada tahun 1992, ‘Izzuddin ikut ditangkap dan dibuang selama setahun oleh Zionis Israel ke Marj Az-Zuhur, sebuah perbukitan tak bertuan di perbatasan Lebanon dan Palestina, bersama 413 orang pemimpin Jihad lainnya seperti Dr. Abdul Aziz Ar-Rantisi. Selama setahun mereka tinggal di tenda-tenda darurat di lereng-lereng bukit. Musim dingin berselimutkan salju belasan derajat di bawah nol, musim panas dipanggang matahari.
Sejak Feryal mengetahui kedudukan suaminya sebagai komandan Jihad, setiap hari, usai shalat fardhu sampai syahidnya ‘Izzuddin 13 tahun kemudian, atas permintaan suaminya itu, Feryal mendoakan agar suaminya dianugerahi Allah mati syahid di Jalan Allah.
Bagi Feryal, ‘Izzuddin adalah seorang suami, sahabat, sekaligus ayah bagi anak-anaknya yang selalu jujur dan ikhlas. “Berat,” demikian kata Feryal, ketika ditanya bagaimana perasaannya setiap kali berdoa agar suaminya mati syahid, “tapi di saat yang sama saya yakin Allah akan mengganti cinta yang saya persembahkan kepada-Nya ini dengan sesuatu yang lebih hebat.” Janji-janji Allah untuk kemuliaan syahid seakan-akan nampak nyata di depan matanya saat berdoa.
Tentu ada yang bertanya, kenapa tidak berdoa agar dimatikan syahid bersama-sama? Jawaban Feryal jelas dan mantap, “Karena, jika suami saya syahid, lalu saya tetap istiqamah menjalankan amanah-amanah yang tertinggal, termasuk membesarkan anak-anak, maka Allah menjanjikan kemuliaan yang lebih besar lagi bagi kami sekeluarga.”
Dua Isyarat
Sesudah ‘Izzuddin syahid, hidup terasa lebih berat bagi Feryal karena seluruh keluarga dari pihaknya dan pihak suaminya ada di Gaza, sedangkan dirinya di Damaskus yang terpisah oleh jarak ratusan kilometer dan blokade militer.
Namun ada dua kenangan manis sebelum ‘Izzuddin mati syahid, yang selalu membuatnya bangkit lagi semangatnya.
Yang pertama, kira-kira satu bulan sebelum syahidnya ‘Izzuddin, mereka bekunjung ke rumah seorang sahabat dalam sebuah acara silaturrahim. Sebagaimana seharusnya, Feryal bercengkerama dengan teman-temannya sesama Muslimah di sebuah ruangan, dan ‘Izzuddin dengan teman-teman Muslimnya di ruangan lain.
Dalam suatu kesempatan, Feryal berjalan melewati pintu ruangan laki-laki dan sekelebat menyaksikan pemandangan yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Dia melihat di kening suaminya tertulis kata-kata dalam khat Arab, “Asy-Syahid” (Sang Syahid).
Tatkala penglihatannya itu ia sampaikan kepada ‘Izzuddin dalam perjalanan pulang, serta-merta suaminya meminggirkan mobil yang sedang dikemudikannya, lalu turun dan berdiri di samping mobilnya, menengadahkan tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, taqdirkanlah penglihatan istriku itu atas diriku.”
Sudah sewajarnya, Feryal bertanya kepada ‘Izzuddin, “Kalau kamu syahid, kami bagaimana?” Dijawab oleh ‘Izzuddin, “Ada Allah, dan Allah lebih baik dari saya.”
Peristiwa kedua yang tak akan pernah dilupakannya, terjadi hanya beberapa menit sebelum syahidnya sang Kekasih. Hari itu Ahad, 26 September 2004. Jarum jam menunjukkan angka sebelas dan matahari di penghujung musim panas masih menyiram hangat kawasan Mydan di jantung kota Damaskus.
Feryal tengah sibuk menyiapkan sarapan bagi suaminya yang akan berangkat kerja. Tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk. Seorang perempuan, tetangga, mampir membicarakan hal-hal remeh, tapi di ujung pembicaraan yang hanya sebentar itu, si Tetangga bertanya, “Saudariku, kamu habis menyemprotkan parfum apa sih? Dari tadi kami mencium baunya wangi sekali, tercium sampai ke rumah kami...”
Feryal memang selalu mengusapkan wewangian sebelum suaminya berangkat dari rumah, tetapi pagi itu dia ingat betul belum melakukannya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa wewangian itu adalah sambutan bagi syahidnya sang Suami beberapa menit kemudian.
Sesudah tetangga itu berlalu, Feryal kembali menyiapkan meja makan. Sarapan khas negeri Syam, khubz (roti lebar), minyak zaitun, za’thar (serbuk rempah-rempah dan biji wijen), humus (selai kacang berbumbu), keju dan secangkir teh kental manis. Suaminya hampir tidak menyentuh makanan, lalu berkata bahwa dia sedang terburu-buru sambil minta tolong diambilkan paspor, untuk mengurus perjalanan umrahnya.
Suaminya pergi. Pintu rumah ditutup. Kurang lebih dua menit berlalu, ketika tiba-tiba Feryal mendengar suara ledakan keras. Dinding apartemennya bergetar. Dinding ruang kelas sekolah kedua anaknya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya juga bergetar. Anak-anak mereka, Hiba, waktu itu berusia 10 tahun, dan Muhammad, waktu itu berusia 7 tahun, keduanya mengaku mendengar ledakan itu dari sekolahnya. Hadil baru berusia 2,5 tahun bersama ibunya di rumah.
Di dada Feryal langsung berdesir, “Pasti itu ‘Izzuddin...” Ia berlari ke jendela apartemen yang terletak di lantai empat, sejurus disingkapnya tirai, disaksikannya jip Pajero berwarna silver tahun 1995 milik suaminya sudah hancur dan masih mengobarkan api.
Tidak Menangis
Ibu tiga anak berusia 29 tahun itu tidak menangis. Ia segera mengenakan hijabnya dan berpakaian serapi mungkin menutup aurat, sebelum kemudian meluncur turun ke tempat kejadian. Setelah memastikan bahwa suaminya telah syahid, Feryal naik lagi ke atas, menelepon istri seorang pemimpin Hamas, Dr Musa Abu Marzuq, Wakil Kepala Biro Politik. Setelah memberi kabar tentang apa yang terjadi atas suaminya dan menjelaskan lokasi rumah mereka, Feryal mematikan telepon.
Kemudian ia berwudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at. Ia memanjatkan doa agar syahid suaminya diterima oleh Allah dan bersyukur Allah telah memilih suaminya sebagai salah satu lelaki terbaik.
Ketika ditanya, apa yang dirasakannya saat itu, Feryal menjawab dengan tersenyum, “Hati saya seperti diiris-iris, sakit, tetapi pada saat yang sama saya merasa sangat berbahagia karena doa saya setiap hari dikabulkan oleh Allah.”
Seorang saksi mata belakangan mengatakan, ‘Izzuddin sempat memundurkan mobil itu sebelum meledak. Para penyeledik Hamas mengatakan, diduga kuat mobil itu diledakkan dengan bom yang menggunakan remote control.
Seselesainya dari shalat, Feryal menyiapkan diri dan rumahnya untuk kedatangan para tamu yang sebentar lagi pasti akan ramai. Banyak diantara yang kemudian datang menangis. Bahkan salah seorang teman perempuannya menangis sampai jatuh-jatuh. “Saya bilang kepada mereka, jangan menangis, saya tidak menangis karena ini keberuntungan saya dan keluarga saya,” katanya.
Ketika menerima salam dari ratusan tamu itu, Feryal membayangkan malam-malam yang selalu dilewatinya bersama ‘Izzuddin, sepanjang 13 tahun pernikahannya. Sebelum tidur, keduanya selalu saling pandang dan saling bertanya, “Apakah kamu ridha kepada saya?” Keduanya sama-sama saling mengiyakan.
Keridhaan itu kini membias pada ketiga anaknya. Hidayatullah.com menemui keluarga ini di rumah mereka dan meminta mereka bercerita satu per satu tentang kenangan mereka akan ayahnya. Tidak ada air mata. Tidak ada sesenggukan. Tidak ada wajah muram. Yang ada senyum bangga dan wajah yang berbinar penuh keberanian.
“Terkadang,” kata Feryal, “anak-anaknya mengatakan, ‘seandainya ayah bersama kita...’ terutama saat berbuka puasa Ramadhan... Tapi saya bilang, ayah selalu bersama kita, bahkan syahidnya ayah memastikan kita akan selalu bersama ayah dalam keadaan yang lebih baik dari keadaan kita saat ini...” Anak-anak itu tersenyum mendengar penuturan ibunya.
Bahkan di sepanjang pertemuan dan wawancara dengan kami, anak-anak itu selalu tersenyum, seperti anak-anak yang menerima hadiah sangat istimewa yang tiada habis-habisnya. [www.hidayatullah.com]